SELAMAT DATANGhttp://sumberdakwahanda.blogspot.com salam kenal ya dari kami...,apakah nukum sholat di belakang shaf ? ? liat saja hanya di http://sumberdakwahanda.blogspot.com/.Blog tentang hal-hal yang terbesar,dan terdahsyat di jagad raya ini.

Anda adalah pengunjung yang ke:

mediadakwahanda.blogspot.com.

ISLAMIC CENTER BLOG ( MEDIA BLOG ISLAM )
AGAMA ADALAH TIANG HIDUP SEKALIGUS NASIHAT

Rabu, 21 Desember 2011

Hukum Memakai Cincin dan Hukum memakaicincin Pertunangan atau Cincin kawin


Dari Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, dia berkata:
أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ خَاتَمٌ مِنْ شَبَهٍ فَقَالَ لَهُ مَا لِي أَجِدُ مِنْكَ رِيحَ الْأَصْنَامِ فَطَرَحَهُ ثُمَّ جَاءَ وَعَلَيْهِ خَاتَمٌ مِنْ حَدِيدٍ فَقَالَ مَا لِي أَرَى عَلَيْكَ حِلْيَةَ أَهْلِ النَّارِ فَطَرَحَهُ
“Sesungguhnya ada seorang laki-laki datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan cincin terbuat dari kuningan. Lalu Beliau bersabda kepadanya: “Kenapa saya mencium darimu aroma berhala?” lalu dia membuangnya. Kemudian datang kepadanya yang memakai cincin dari besi, lalu Beliau bersabda kepadanya: “Kenapa saya melihatmu memakai perhiasan penduduk neraka?” lalu dia membuangnya. (HR. Abu Daud No. 4223. An Nasa’i No. 5159, lafaz ini milik Abu Daud)
Sementara dalam lafaz Imam At Tirmidzi, ada redaksi tambahan:
ثم أتاه وعليه خاتم من ذهب فقال مالي أرى عليك حلية أهل الجنة
Kemudian datang kepadanya seseorang yang memakai cincin dari emas. Lalu Beliau bersabda: “Kenapa saya melihat padamu perhiasan penduduk surga?” (HR. At Tirmidzi No. 1785, katanya: gharib)
Hadits ini sering dijadikan dalil keharaman memakai cincin buat laki-laki baik dari kuningan, besi, perak, dan emas. Tetapi, semua riwayat ini dhaif. (Lihat Adabuz Zifaf Hal. 128. Al Misykah No. 4396. Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 4223. Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 5159)
Kedhaifan ini lantaran dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Muslim Abu Thayyibah As Sulami Al Mawarzi. Abu Hatim Ar Razi mengatakan: haditsnya ditulis tetapi dia tidak bisa dijadikan hujjah. (Al Jarh wa Ta’dil, 5/165/671. Darul Kutub Al Mishriyah)
Imam Ibnu Hibban mengatakan: dia melakukan kesalahan dan berselisih. (Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al Azhim Abadi, ‘Aunul Ma’bud, 11/191. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Maka dalam masalah ini, ketiadaan dalil pengharaman, merupakan dalil bagi kebolehan. Kita mesti kembali kepada bara’atul ashliyah (kembali kepada hukum asal) yakni bolehnya memakai cincin selain emas, baik itu besi, kuningan, dan perak, atau logam lainnya walau berharga tinggi.
Imam Asy Syafi’i Rahimahullah mengatakan:
ولا اكره للرجل لبس اللؤلؤ إلا للادب وأنه من زى النساء لا للتحريم ولا أكره لبس ياقوت ولا زبرجد إلا من جهة السرف أو الخيلاء
“Saya tidak memakruhkan bagi laki-laki yang memakai mutiara, kecuali karena adab saja sebab itu merupakan hiasan wanita, tidak menunjukkan haram. Dan saya tidak memakruhkan memakai yaqut dan permata, kecuali jika berlebihan dan sombong.” (Al Umm, 1/254. Darul Fikr)
Orang-orang mulia pun memakainya, Imam Ahmad menyebutkan bahwa Abdullah bin Mas’ud memakai cincin besi (Imam Ibnu Abdil Bar, At Tamhid, 17/113. Muasasah Al Qurthubah). Sedangkan Syuraik sebelum diangkat menjadi qadhi, juga Imam Abu Hanifah, memakai cincin perak. (Ibid, 17/115) kalau pun banyak para salaf yang tidak memakai cincin tidak berarti mereka mengharamkan.
Tentang cincin besi, Imam An Nawawi mengatakan:
وَلِأَصْحَابِنَا فِي كَرَاهَته وَجْهَانِ : أَصَحّهمَا لَا يُكْرَه لِأَنَّ الْحَدِيث فِي النَّهْي عَنْهُ ضَعِيف
“Dan bagi sahabat-sahabat kami, tentang kemakruhan memakai cincin besi ada dua pendapat, yang paling benar adalah tidak makruh. Karena hadits tentang larangannya adalah dhaif. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 5/134. Mauqi’ Ruh Al Islam)
Adapun keharaman emas bagi laki-laki telah ditegaskan oleh banyak riwayat shahih, bahkan mutawatir. Ada pun selain emas, maka pihak yang mengharamkan tidak memiliki pijakan yang kuat. Oleh karena itu berkata Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al Azhim Abadi tentang perak:
قُلْت : وَالْحَدِيث مَعَ ضَعْفه يُعَارِض حَدِيث أَبِي هُرَيْرَة مَرْفُوعًا بِلَفْظِ ” وَلَكِنْ عَلَيْكُمْ بِالْفِضَّةِ فَالْعَبُوا بِهَا ” أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ وَسَيَأْتِي وَإِسْنَاده صَحِيح ، فَإِنَّ هَذَا الْحَدِيث يَدُلّ عَلَى الرُّخْصَة فِي اِسْتِعْمَال الْفِضَّة لِلرِّجَالِ ، وَأَنَّ فِي تَحْرِيم الْفِضَّة عَلَى الرِّجَال لَمْ يَثْبُت فِيهِ شَيْء عَنْ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنَّمَا جَاءَتْ الْأَخْبَار الْمُتَوَاتِرَة فِي تَحْرِيم الذَّهَب وَالْحَرِير عَلَى الرِّجَال فَلَا يَحْرُم عَلَيْهِمْ اِسْتِعْمَال الْفِضَّة إِلَّا بِدَلِيلٍ وَلَمْ يَثْبُت فِيهِ دَلِيل . وَاَللَّه أَعْلَم
“Saya berkata: hadits ini bersamaan kedhaifannya telah bertentangan dengan hadits Abu Hurairah secara marfu’ dengan lafaz: “Tetapi hendaknya kalian memakai perak maka bermainlah dengannya..” Dikeluarkan oleh Abu Daud dalam hadits selanjutnya, dengan sanad yang shahih. Hadits ini menunjukkan keringanan dalam menggunakan perak bagi laki-laki, ada pun pengharaman perak bagi laki-laki tidak ada satu pun yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang ada hanyalah riwayat mutawatir tentang pengharaman emas dan sutera bagi laki-laki. Maka, tidaklah mereka diharamkan memakai perak kecuali dengan dalil, dan ternyata tidak ada dalil yang kuat dalam masalah ini. Wallahu A’lam.” (Ibid, 11/190)
Imam Asy Syaukani juga menyatakan kebolehannya, menurutnya tidak satu pun hadits shahih tentang pengharaman cincin perak, dan beliau juga menyebutkan hadits “Tetapi hendaknya kalian memakai perak maka bermainlah dengannya sesuai selera,” sebagai penguat kebolehannya. (Nailul Authar, 1/67. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)
Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr mengatakan:
وأن خاتم النبي صلى الله عليه وسلم كان من فضة، وأنه توفي وهو في يده، ثم صار في يد أبي بكر ثم في يد عمر ثم في يد عثمان ، وفي أثناء خلافته سقط من يده في بئر أريس. فاتخاذ الخاتم من الفضة ثبتت فيه الأحاديث عن رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Sesungguhnya cincin Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terbuat dari perak, ketika beliau wafat cincin itu masih ditangannya, lalu berpindah tangan ke Abu Bakar, kemudian ke tangan Umar, kemudian Utsman. Ketika masa kekhilafahan Utsman jatuh dari tangannya ke sumur urais. Menggunakan cincin perak telah dikuatkan oleh berbagai hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. (Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr, Syarh Sunan Abi Daud, No. 473. Maktabah Misykah)
Imam Ibnu Muflih mengatakan:
لاَ أَعْرِفُ عَلَى تَحْرِيمِ لُبْسِ الْفِضَّةِ نَصًّا عَنْ أَحْمَدَ وَكَلاَمُ شَيْخِنَا ( يَعْنِي ابْنَ تَيْمِيَّةَ ) يَدُل عَلَى إِبَاحَةِ لُبْسِهَا لِلرِّجَال إِلاَّ مَا دَل الشَّرْعُ عَلَى تَحْرِيمِهِ ، أَيْ مِمَّا فِيهِ تَشَبُّهٌ أَوْ إِسْرَافٌ أَوْ مَا كَانَ عَلَى شَكْل صَلِيبٍ وَنَحْوِهِ
“Aku tidak mengetahui adanya perkataan dari Imam Ahmad tentang pengharaman memakai perak. Dan ucapan syaikh kami (yakni Ibnu Tamiyah) menunjukkan kebolehan memakai perak bagi laki-laki, kecuali jika ada dalil syara’ yang menunjukkan keharamannya, yaitu apa-apa yang di dalamnya terdapat penyerupaan (dengan emas) dan berlebihan, atau yang bentuknya menyerupai salib, dan lainnya. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 18/111)
Ulama dari Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah membolehkan memakai cincin walaupun sedang ihram. (Ibid, 2/170)
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah mengatakan:
لا حرج في لبس الساعة في اليد اليمنى أو اليسرى كالخاتم وقد ثبت عن النبي ، – صلى الله عليه وسلم – ، أنه لبس الخاتم في اليمنى وفي اليسرى ، ولا حرج في لبس الحديد من الساعة والخاتم لما ثبت عن النبي ، – صلى الله عليه وسلم – ، في الصحيحين أنه قال للخاطب { التمس ولو خاتماً من حديد } أما ما يروى عنه، – صلى الله عليه وسلم – ، في التنفير من ذلك فشاذ مخالف لهذا الحديث الصحيح .
“Tidak mengapa memakai jam di tangan kanan atau kiri sebagaimana cincin. Telah tsabit (shahih) dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau memakai cincin di kanan dan di kiri, dan tidak mengapa memakai jam dan cincin dari besi, sebab telah tsabit dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam Shahihain, bahwa Beliau bersabda kepada orang yang melamar: “Carilah mahar walau dengan cincin dari besi.” Ada pun riwayat dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang menunjukkan agar hal itu dijauhi adalah riwayat yang syadz (janggal) bertentangan dengan hadits shahih ini.” (Fatawa Islamiyah, 4/324. Dikumpulkan dan disusun oleh Muhammad bin Abdul Aziz Al Musnid)
Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin juga menjadikan hadits: “Carilah mahar walau dengan cincin dari besi,” sebagai dalil bolehnya memakai cincin besi. (Syaikh Utsaimin, Fatawa Nur ‘Alad Darb, No. 193)
Demikian tentang kebolehan memakai cincin selain emas, beserta fatwa para imam, dan penjelasan dhaifnya hadits yang melarangnya.
Wallahu A’lam
  
B.Hukum memakai cincin Pertunangan atau Cincin kawin
Alhamdulillah, wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah. Telah diajukan pertanyaan seputar masalah ini kepada Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah. Dan beliau berfatwa:
“Cincin tunangan adalah ungkapan dari sebuah cincin (yang tidak bermata). Pada asalnya, mengenakan cincin bukanlah sesuatu yang terlarang kecuali jika disertai i’tiqad (keyakinan) tertentu sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang. Seseorang menulis namanya pada cincin yang dia berikan kepada tunangan wanitanya, dan si wanita juga menulis namanya pada cincin yang dia berikan kepada si lelaki yang melamarnya, dengan anggapan bahwa hal ini akan menimbulkan ikatan yang kokoh antara keduanya. Pada kondisi seperti ini, cincin tadi menjadi haram, karena merupakan perbuatan bergantung dengan sesuatu yang tidak ada landasannya secara syariat maupun inderawi (tidak ada hubungan sebab akibat).1
Demikian pula, lelaki pelamar tidak boleh memakaikannya di tangan wanita tunangannya karena wanita tersebut baru sebatas tunangan dan belum menjadi istrinya setelah lamaran tersebut. Maka wanita itu tetaplah wanita ajnabiyyah (bukan mahram) baginya, karena tidaklah resmi menjadi istri kecuali dengan akad nikah.” (sebagaimana dalam kitab Al-Usrah Al-Muslimah, hal. 113, dan Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, hal. 476)
Telah diajukan juga sebuah pertanyaan kepada Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah: “Apa hukum mengenakan cincin atau cincin tunangan apabila terbuat dari perak atau emas atau logam berharga yang lain?”
Beliau menjawab: “Seorang lelaki tidak boleh mengenakan emas baik berupa cincin atau perhiasan yang lain dalam keadaan apapun. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan emas atas kaum laki-laki umat ini. Dan beliau melihat seorang lelaki yang mengenakan cincin emas di tangannya maka beliaupun melepas cincin tersebut dari tangannya. Kemudian beliau berkata:
يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ إِلَى جَمْرَةٍ مِنْ نَارٍ فَيَضُعَهَا فِي يَدِهِ؟
Salah seorang kalian sengaja mengambil bara api dari neraka lalu meletakkannya di tangannya?
Maka, seorang lelaki muslim tidak boleh mengenakan cincin emas. Adapun cincin selain emas seperti cincin perak atau logam yang lain, maka boleh dikenakan oleh laki-laki, meskipun logam tersebut sangat berharga. Mengenakan cincin tunangan bukanlah adat kaum muslimin (melainkan adat orang-orang kafir). Apabila cincin itu dipakai disertai dengan i’tiqad (keyakinan) akan menyebabkan terwujudnya rasa cinta antara pasangan suami istri dan jika ditanggalkan akan memengaruhi langgengnya hubungan keduanya, maka yang seperti ini termasuk syirik.2 Dan ini merupakan keyakinan jahiliyah.
Maka, tidak boleh mengenakan cincin tunangan dengan alasan apapun, karena:
1. Merupakan perbuatan taqlid (membebek) terhadap orang-orang yang tidak ada kebaikan sedikitpun pada mereka (yakni orang-orang kafir), di mana hal ini adalah adat kebiasaan yang datang ke tengah-tengah kaum muslimin, bukan adat kebiasaan kaum muslimin.
2. Apabila diiringi dengan i’tiqad (keyakinan) akan memengaruhi keharmonisan suami istri maka termasuk syirik. Wala haula wala quwwata illa billah. (Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, hal. 476-477)
Kedua ulama ini sepakat bahwa jika cincin tunangan itu dipakai disertai i’tiqad yang disebutkan maka hukumnya haram dan merupakan syirik kecil. Adapun bila tanpa i’tiqad tersebut, keduanya berbeda pendapat. Dan pendapat Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan lebih dekat kepada al-haq dan lebih selamat. Wallahu a’lam bish-shawab.
1 Menjadikan perkara tertentu sebagai sebab dalam usaha mencapai sesuatu, padahal syariat tidak memerintahkannya, dan tidak ada pula hubungan sebab akibat antara perkara tersebut dengan tujuan yang akan dicapai (secara tinjauan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatur kejadian alam), adalah perbuatan syirik kecil; yang merupakan wasilah yang akan menyeret seseorang untuk terjatuh dalam perbuatan syirik besar yang membatalkan keislamannya. Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kesyirikan. (pen)
2 Yakni syirik kecil. (pen.)


Oleh : Fitra ramadhani
sumber : berbagai media yang ada.
lihat juga : mediadakwahanda.blogspot.com/2011/12/hal-hal-yang-salah-ketika-penyampaian.html

Tidak ada komentar:

Artikel populer