Dari Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, dia berkata:
أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ خَاتَمٌ مِنْ شَبَهٍ فَقَالَ لَهُ مَا لِي أَجِدُ
مِنْكَ رِيحَ الْأَصْنَامِ فَطَرَحَهُ ثُمَّ جَاءَ وَعَلَيْهِ خَاتَمٌ مِنْ
حَدِيدٍ فَقَالَ مَا لِي أَرَى عَلَيْكَ حِلْيَةَ أَهْلِ النَّارِ
فَطَرَحَهُ
“Sesungguhnya ada seorang laki-laki datang kepada Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan cincin terbuat dari kuningan. Lalu
Beliau bersabda kepadanya: “Kenapa saya mencium darimu aroma berhala?”
lalu dia membuangnya. Kemudian datang kepadanya yang memakai cincin dari
besi, lalu Beliau bersabda kepadanya: “Kenapa saya melihatmu memakai
perhiasan penduduk neraka?” lalu dia membuangnya. (HR. Abu Daud No.
4223. An Nasa’i No. 5159, lafaz ini milik Abu Daud)
Sementara dalam lafaz Imam At Tirmidzi, ada redaksi tambahan:
ثم أتاه وعليه خاتم من ذهب فقال مالي أرى عليك حلية أهل الجنة
Kemudian datang kepadanya seseorang yang memakai cincin
dari emas. Lalu Beliau bersabda: “Kenapa saya melihat padamu perhiasan
penduduk surga?” (HR. At Tirmidzi No. 1785, katanya: gharib)
Hadits ini sering dijadikan dalil keharaman memakai
cincin buat laki-laki baik dari kuningan, besi, perak, dan emas.
Tetapi, semua riwayat ini dhaif. (Lihat Adabuz Zifaf Hal. 128. Al
Misykah No. 4396. Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 4223. Shahih wa
Dhaif Sunan An Nasa’i No. 5159)
Kedhaifan ini lantaran dalam sanadnya terdapat Abdullah
bin Muslim Abu Thayyibah As Sulami Al Mawarzi. Abu Hatim Ar Razi
mengatakan: haditsnya ditulis tetapi dia tidak bisa dijadikan hujjah.
(Al Jarh wa Ta’dil, 5/165/671. Darul Kutub Al Mishriyah)
Imam Ibnu Hibban mengatakan: dia melakukan kesalahan dan
berselisih. (Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al Azhim Abadi, ‘Aunul
Ma’bud, 11/191. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Maka dalam masalah ini, ketiadaan dalil pengharaman,
merupakan dalil bagi kebolehan. Kita mesti kembali kepada bara’atul
ashliyah (kembali kepada hukum asal) yakni bolehnya memakai cincin
selain emas, baik itu besi, kuningan, dan perak, atau logam lainnya
walau berharga tinggi.
Imam Asy Syafi’i Rahimahullah mengatakan:
ولا اكره للرجل لبس اللؤلؤ إلا للادب وأنه من زى النساء لا للتحريم ولا أكره لبس ياقوت ولا زبرجد إلا من جهة السرف أو الخيلاء
“Saya tidak memakruhkan bagi laki-laki yang memakai
mutiara, kecuali karena adab saja sebab itu merupakan hiasan wanita,
tidak menunjukkan haram. Dan saya tidak memakruhkan memakai yaqut dan
permata, kecuali jika berlebihan dan sombong.” (Al Umm, 1/254. Darul
Fikr)
Orang-orang mulia pun memakainya, Imam Ahmad menyebutkan
bahwa Abdullah bin Mas’ud memakai cincin besi (Imam Ibnu Abdil Bar, At
Tamhid, 17/113. Muasasah Al Qurthubah). Sedangkan Syuraik sebelum
diangkat menjadi qadhi, juga Imam Abu Hanifah, memakai cincin perak.
(Ibid, 17/115) kalau pun banyak para salaf yang tidak memakai cincin
tidak berarti mereka mengharamkan.
Tentang cincin besi, Imam An Nawawi mengatakan:
وَلِأَصْحَابِنَا فِي كَرَاهَته وَجْهَانِ : أَصَحّهمَا لَا يُكْرَه لِأَنَّ الْحَدِيث فِي النَّهْي عَنْهُ ضَعِيف
“Dan bagi sahabat-sahabat kami, tentang kemakruhan
memakai cincin besi ada dua pendapat, yang paling benar adalah tidak
makruh. Karena hadits tentang larangannya adalah dhaif. (Al Minhaj Syarh
Shahih Muslim, 5/134. Mauqi’ Ruh Al Islam)
Adapun keharaman emas bagi laki-laki telah ditegaskan
oleh banyak riwayat shahih, bahkan mutawatir. Ada pun selain emas, maka
pihak yang mengharamkan tidak memiliki pijakan yang kuat. Oleh karena
itu berkata Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al Azhim Abadi tentang perak:
قُلْت : وَالْحَدِيث مَعَ ضَعْفه يُعَارِض حَدِيث أَبِي هُرَيْرَة
مَرْفُوعًا بِلَفْظِ ” وَلَكِنْ عَلَيْكُمْ بِالْفِضَّةِ فَالْعَبُوا بِهَا
” أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ وَسَيَأْتِي وَإِسْنَاده صَحِيح ، فَإِنَّ
هَذَا الْحَدِيث يَدُلّ عَلَى الرُّخْصَة فِي اِسْتِعْمَال الْفِضَّة
لِلرِّجَالِ ، وَأَنَّ فِي تَحْرِيم الْفِضَّة عَلَى الرِّجَال لَمْ
يَثْبُت فِيهِ شَيْء عَنْ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَإِنَّمَا جَاءَتْ الْأَخْبَار الْمُتَوَاتِرَة فِي تَحْرِيم الذَّهَب
وَالْحَرِير عَلَى الرِّجَال فَلَا يَحْرُم عَلَيْهِمْ اِسْتِعْمَال
الْفِضَّة إِلَّا بِدَلِيلٍ وَلَمْ يَثْبُت فِيهِ دَلِيل . وَاَللَّه
أَعْلَم
“Saya berkata: hadits ini bersamaan kedhaifannya telah
bertentangan dengan hadits Abu Hurairah secara marfu’ dengan lafaz:
“Tetapi hendaknya kalian memakai perak maka bermainlah dengannya..”
Dikeluarkan oleh Abu Daud dalam hadits selanjutnya, dengan sanad yang
shahih. Hadits ini menunjukkan keringanan dalam menggunakan perak bagi
laki-laki, ada pun pengharaman perak bagi laki-laki tidak ada satu pun
yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang ada hanyalah
riwayat mutawatir tentang pengharaman emas dan sutera bagi laki-laki.
Maka, tidaklah mereka diharamkan memakai perak kecuali dengan dalil, dan
ternyata tidak ada dalil yang kuat dalam masalah ini. Wallahu A’lam.”
(Ibid, 11/190)
Imam Asy Syaukani juga menyatakan kebolehannya,
menurutnya tidak satu pun hadits shahih tentang pengharaman cincin
perak, dan beliau juga menyebutkan hadits “Tetapi hendaknya kalian
memakai perak maka bermainlah dengannya sesuai selera,” sebagai penguat
kebolehannya. (Nailul Authar, 1/67. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)
Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr mengatakan:
وأن خاتم النبي صلى الله عليه وسلم كان من فضة، وأنه توفي وهو في يده،
ثم صار في يد أبي بكر ثم في يد عمر ثم في يد عثمان ، وفي أثناء خلافته سقط
من يده في بئر أريس. فاتخاذ الخاتم من الفضة ثبتت فيه الأحاديث عن رسول
الله صلى الله عليه وسلم
“Sesungguhnya cincin Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
terbuat dari perak, ketika beliau wafat cincin itu masih ditangannya,
lalu berpindah tangan ke Abu Bakar, kemudian ke tangan Umar, kemudian
Utsman. Ketika masa kekhilafahan Utsman jatuh dari tangannya ke sumur
urais. Menggunakan cincin perak telah dikuatkan oleh berbagai hadits
dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. (Syaikh Abdul Muhsin Al
‘Abbad Al Badr, Syarh Sunan Abi Daud, No. 473. Maktabah Misykah)
Imam Ibnu Muflih mengatakan:
لاَ أَعْرِفُ عَلَى تَحْرِيمِ لُبْسِ الْفِضَّةِ نَصًّا عَنْ أَحْمَدَ
وَكَلاَمُ شَيْخِنَا ( يَعْنِي ابْنَ تَيْمِيَّةَ ) يَدُل عَلَى إِبَاحَةِ
لُبْسِهَا لِلرِّجَال إِلاَّ مَا دَل الشَّرْعُ عَلَى تَحْرِيمِهِ ، أَيْ
مِمَّا فِيهِ تَشَبُّهٌ أَوْ إِسْرَافٌ أَوْ مَا كَانَ عَلَى شَكْل صَلِيبٍ
وَنَحْوِهِ
“Aku tidak mengetahui adanya perkataan dari Imam Ahmad
tentang pengharaman memakai perak. Dan ucapan syaikh kami (yakni Ibnu
Tamiyah) menunjukkan kebolehan memakai perak bagi laki-laki, kecuali
jika ada dalil syara’ yang menunjukkan keharamannya, yaitu apa-apa yang
di dalamnya terdapat penyerupaan (dengan emas) dan berlebihan, atau yang
bentuknya menyerupai salib, dan lainnya. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al
Kuwaitiyah, 18/111)
Ulama dari Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah membolehkan memakai cincin walaupun sedang ihram. (Ibid, 2/170)
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah mengatakan:
لا حرج في لبس الساعة في اليد اليمنى أو اليسرى كالخاتم وقد ثبت عن
النبي ، – صلى الله عليه وسلم – ، أنه لبس الخاتم في اليمنى وفي اليسرى ،
ولا حرج في لبس الحديد من الساعة والخاتم لما ثبت عن النبي ، – صلى الله
عليه وسلم – ، في الصحيحين أنه قال للخاطب { التمس ولو خاتماً من حديد }
أما ما يروى عنه، – صلى الله عليه وسلم – ، في التنفير من ذلك فشاذ مخالف
لهذا الحديث الصحيح .
“Tidak mengapa memakai jam di tangan kanan atau kiri
sebagaimana cincin. Telah tsabit (shahih) dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam bahwa beliau memakai cincin di kanan dan di kiri, dan tidak
mengapa memakai jam dan cincin dari besi, sebab telah tsabit dari Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam Shahihain, bahwa Beliau bersabda
kepada orang yang melamar: “Carilah mahar walau dengan cincin dari
besi.” Ada pun riwayat dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang
menunjukkan agar hal itu dijauhi adalah riwayat yang syadz (janggal)
bertentangan dengan hadits shahih ini.” (Fatawa Islamiyah, 4/324.
Dikumpulkan dan disusun oleh Muhammad bin Abdul Aziz Al Musnid)
Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin juga menjadikan
hadits: “Carilah mahar walau dengan cincin dari besi,” sebagai dalil
bolehnya memakai cincin besi. (Syaikh Utsaimin, Fatawa Nur ‘Alad Darb,
No. 193)
Demikian tentang kebolehan memakai cincin selain emas,
beserta fatwa para imam, dan penjelasan dhaifnya hadits yang
melarangnya.
Wallahu A’lam
B.Hukum memakai cincin Pertunangan atau Cincin kawin
Alhamdulillah,
wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah. Telah diajukan pertanyaan
seputar masalah ini kepada Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin
rahimahullah. Dan beliau berfatwa:
“Cincin
tunangan adalah ungkapan dari sebuah cincin (yang tidak bermata). Pada
asalnya, mengenakan cincin bukanlah sesuatu yang terlarang kecuali jika
disertai i’tiqad (keyakinan) tertentu sebagaimana dilakukan oleh
sebagian orang. Seseorang menulis namanya pada cincin yang dia berikan
kepada tunangan wanitanya, dan si wanita juga menulis namanya pada
cincin yang dia berikan kepada si lelaki yang melamarnya, dengan anggapan bahwa hal ini akan menimbulkan ikatan yang kokoh antara keduanya. Pada
kondisi seperti ini, cincin tadi menjadi haram, karena merupakan
perbuatan bergantung dengan sesuatu yang tidak ada landasannya secara syariat maupun inderawi (tidak ada hubungan sebab akibat).1
Demikian
pula, lelaki pelamar tidak boleh memakaikannya di tangan wanita
tunangannya karena wanita tersebut baru sebatas tunangan dan belum
menjadi istrinya setelah lamaran tersebut. Maka wanita itu tetaplah
wanita ajnabiyyah (bukan mahram) baginya, karena tidaklah resmi menjadi
istri kecuali dengan akad nikah.” (sebagaimana dalam kitab Al-Usrah
Al-Muslimah, hal. 113, dan Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, hal. 476)
Telah
diajukan juga sebuah pertanyaan kepada Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan
hafizhahullah: “Apa hukum mengenakan cincin atau cincin tunangan apabila
terbuat dari perak atau emas atau logam berharga yang lain?”
Beliau menjawab: “Seorang lelaki tidak boleh mengenakan emas baik berupa cincin atau perhiasan yang lain dalam keadaan apapun.
Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan emas atas kaum
laki-laki umat ini. Dan beliau melihat seorang lelaki yang mengenakan
cincin emas di tangannya maka beliaupun melepas cincin tersebut dari
tangannya. Kemudian beliau berkata:
يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ إِلَى جَمْرَةٍ مِنْ نَارٍ فَيَضُعَهَا فِي يَدِهِ؟
“Salah seorang kalian sengaja mengambil bara api dari neraka lalu meletakkannya di tangannya?”
Maka,
seorang lelaki muslim tidak boleh mengenakan cincin emas. Adapun cincin
selain emas seperti cincin perak atau logam yang lain, maka boleh
dikenakan oleh laki-laki, meskipun logam tersebut sangat berharga.
Mengenakan cincin tunangan bukanlah adat kaum muslimin (melainkan adat
orang-orang kafir). Apabila cincin itu dipakai disertai dengan i’tiqad
(keyakinan) akan menyebabkan terwujudnya rasa cinta antara pasangan
suami istri dan jika ditanggalkan akan memengaruhi langgengnya hubungan
keduanya, maka yang seperti ini termasuk syirik.2 Dan ini merupakan
keyakinan jahiliyah.
Maka, tidak boleh mengenakan cincin tunangan dengan alasan apapun, karena:
1.
Merupakan perbuatan taqlid (membebek) terhadap orang-orang yang tidak
ada kebaikan sedikitpun pada mereka (yakni orang-orang kafir), di mana
hal ini adalah adat kebiasaan yang datang ke tengah-tengah kaum
muslimin, bukan adat kebiasaan kaum muslimin.
2. Apabila diiringi dengan i’tiqad (keyakinan) akan memengaruhi keharmonisan suami istri maka termasuk syirik. Wala haula wala quwwata illa billah. (Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, hal. 476-477)
Kedua
ulama ini sepakat bahwa jika cincin tunangan itu dipakai disertai
i’tiqad yang disebutkan maka hukumnya haram dan merupakan syirik kecil.
Adapun bila tanpa i’tiqad tersebut, keduanya berbeda pendapat. Dan
pendapat Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan lebih dekat kepada al-haq dan lebih
selamat. Wallahu a’lam bish-shawab.
1
Menjadikan perkara tertentu sebagai sebab dalam usaha mencapai sesuatu,
padahal syariat tidak memerintahkannya, dan tidak ada pula hubungan
sebab akibat antara perkara tersebut dengan tujuan yang akan dicapai
(secara tinjauan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatur kejadian
alam), adalah perbuatan syirik kecil; yang merupakan wasilah yang akan
menyeret seseorang untuk terjatuh dalam perbuatan syirik besar yang
membatalkan keislamannya. Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala dari kesyirikan. (pen)
2 Yakni syirik kecil. (pen.)
Oleh : Fitra ramadhani
sumber : berbagai media yang ada.
lihat juga : mediadakwahanda.blogspot.com/2011/12/hal-hal-yang-salah-ketika-penyampaian.html